Rabu, 24 April 2013

HUBUNGAN BIROKRASI DAN POLITIK DI INDONESIA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI



A.     Penagantar
Sudah lama birokrasi menjadi perhatian para ilmuwan sosial karena melihat peranan yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Umumnya fungsi birokrasi diasumsikan sebagai pelayan masyarakat atau pelayan publik. birokrasi merupakan gabungan dari dua kata yaitu bureau yang berarti office table (meja kantor) yang bertujuan sebagai alat kerja manusia atau dapat juga diartikan sebagai hukum yang menjadi dasar aturan-aturan dan cracy yang bermakna power (kekuasaan) dalam bentuk authority (kewenangan atau otoritas) dan legitimation (pengakuan).
Birokrasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat modern. Misalnya lembaga tenaga kerja pemerintah atau non pemerintah yang dipakai untuk memperoleh pekerjaan, serikat pekerja sebagai pelindung pekerja, pasar-pasar swalayan atau toko-toko kecil untuk berbelanja, rumah sakit untuk berobat, sekolah untuk mencari pengetahuan, partai politik yang menjadi medium kepentingan politik rakyat dan lain-lain cenderung diatur secara birokratis. (Blau & Meyer, 2000 : 12-13).
Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tetapi konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dikaitkan dengan konteks Indonesia. Secara filosofis dalam paradigma Weber, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai.

1.      Batasan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, banyak hal yang menarik perhatian melihat kondisi birokrasi di Indonesia pada beberapa periode sejarah yang telah berlangsung, dimana keberadaan elite birokrasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji hubungannya dengan politik. Namun pada kesempatan ini terutama yang coba hendak diketahui lebih jauh adalah tentang bagaimana hubungan antara birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru

2.      Rumusan Masalah
Rumusan yang coba kita kaji dalam studi perbandingan hubungan birokrasi dengan politik, sesuai dengan masalah yang diuraikan diatas adalah Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi?

B.     Pembahasan
1.    Hubungan Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Lama
Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer dan Presidensial. spirit perjuangan masih lebih mencolok kepada penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan tak jarang hal ini terlihat di dalam kekuatan moyoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai aspirasi minoritas demi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disadari, bahwa bagsa indonesia baru mengalami kemerdekaan. Jadi semnagat integritas nasional menjadi perhatian semua elemen pemerintah, dan ideologi-ideologi politik. Bulum terlalu mencolok konfigurasi kepentingan dari berbagai ideologi politik yang berjung melepaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme.
Walaupun ada semangat primordial tetapi tidak mengemuka karena tenggelam oleh semangat nasional. Satu-satunya yang menjadi ancaman Negara adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sempat memberontak dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Di awal kemerdekaan ada semacam consensus bahwa lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup logis sebab hanya birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. (Thoha, 2003 : 135-136).
Pada saat ini aparat pemerintah banyak direkrut dari berbagai etnis yang dianggap mewakili hampir semua suku bangsa. Dan boleh dikatakan orang-orang yang duduk di pemerintahan hanya mempertimbangkan asal-usul orangnya tanpa melihat kepada keahliannya. Misalnya di dalam setiap departemen harus ada etnis Jawa, etnis Batak, etnis Padang, etnis Sunda dan berbagai etnis lain yang kemudian dianggap dapat mewakili gambaran integrasi semua suku bangsa.
Pada masa ini dilaksanakan juga pemilihan umum pertama yang demokratis yaitu Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai yang memenangkan pemilu memiliki niat untuk menguasai beberapa departemen. Bahkan tak jarang kabinet bubar karena pembagian kementerian di departemen tak sesuai dengan keinginan partai politik yang bersangkutan. (Thoha, 2003 : 136).
Aparat pemerintah sepertinya hanya patuh kepada kepentingan partai tempat dia menyalurkan aspirasi politik ketimbang serius memberikan pelayanan kepada rakyat. Saat partai yang berkuasa berganti maka aparat birokrasi pun banyak yang berganti karena lebih memilih mengikuti keinginan dari partainya. Pada pokoknya, keterlibatan Birokrasi dalam politik sudah melakukan peran ganda, pada satu sisi Birokrasi atau elite birokrasi menjalankan tugasnya sudah di pengaruhi oleh partai politik yang memerintah. Pada masa ini dalam sejarah politik Indonesia dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer atau Liberal.
Pengaruh elite birokrasi terhadap ranah politik secara langsung, pada periode ini tidak seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Karena sistem pemerintahan mengalami perubahan. Dimana perubahan tersebut dirasakan secara langsung oleh seluruh struktur pemerintahan, termasuk institusi birokrasi dalam melakukan perannya.
Pada periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin atau akhirnya demokrasi parlementer liberal. Kekuasaan terpusat pada diri Presiden Soekarno. Partai-partai politik di disederhanakan dalam bungkus Nasakom, dengan dibubarkan parlemen hasil pemilu tahu 1955 sebagai konsekuensi dari dekrit presiden 5 juli. Peran presiden sangat kuat dalam membentuk dan memimpin pemerintahan. Dimana presiden sebagai kepala pemerintahan memimpin kabinet dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Menteri sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab terhadap Presiden.
Sebagai ringkasannya disini akan dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan politik pada masa Orde Lama tersebut.
Masa
Ciri Khas Birokrasi
Orientasi Keberpihakan
Keterangan
Orde Lama
Belum atau tak terjadi kekompakan birokrasi sebab politisasi birokrasi yang berwujud pengkavlingan departemen-departemen oleh parta-partai politik. Misal, Depdagri dikavling oleh PNI, Depag oleh Partai NU.
Politisasi terhadap birokrasi begitu dalam sehingga promosi jabatan di berbagai departemen pada semua lingkungan ditentukan terutama oleh loyalitas kepartaian anggota.
Aktornya adalah pegawai negeri yang lebih berpihak kepada partai induknya.
Tampak gejala politisasi birokrasi oleh partai politik yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi oleh orang-orang yang ditunjuk partai politik. Birokrasi cenderung pro partai, kader dan pendukungnya.
Profesonalisme dan kinerja birokrasi orde lama tak berjalan baik sebab semua organnya sendiri sudah menjadi partai politik.
Setiap departemen dikuasai partai politik tertentu yang memiliki orientasi berbeda-beda.





Diadaptasi dari Forum Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
2.    Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Orde Baru
Dalam hubungan Birokrasi dengan ranah politik kekuasan pada masa Orde Baru Secara umum, wajah birokrasi masa Orde Baru dapat diidentifikasi dalam dua tipe: yaitu sentralitas dan bersifat patrimonial. Birokrasi di jadikan sebagai alat yang efektif untuk mengadapi pemerintahan daerah. Namun demikian, wajah birokrasi yang sentralistik dan patrimonial, baik pada organisasi Pamong Praja ataupun badan usaha milik Negara, bukalah monopoli Orde Baru, melainkan warisan kelembagaan dari rejim sebelumnya. Kondisi ini disebabkan diantaranya oleh proses rekrutmen kedalam jabatan pemerintahan dan realitas birokrasi sebagai ajang konflik politik yang melahirkan patronase, sehingga menciptakan iklim dimana manipulasi politik oleh pejabat pemerintah menjadi lumrah dan perlu (Mohtar Mas’oed, 1989).
Seperti dicatat Mahfud dari Muhaimin, sistem politik Orde Baru pada awalnya berusaha mengembalikan birokrasi yang semrawut, tak bertanggung jawab ke arah birokrasi yang efisien, jujur, akuntabilitas dan menghargai hukum. Namun menurut Soedjatmoko, keinginan untuk membentuk pemerintahan modern, efisien dan kuat telah memunculkan pemerintahan yang disebut Modernizing Bureaucratic State (MBS), yang memperlihatkan semakin meluasnya peranan birokrasi di dalam negara. Ada kecenderungan otoritarianisme dan sentralisasi dalam MBS sebagai ciri kebudayaan politik negara patrimonial, dan ada persamaan yang jelas antara makna “modern officialdome” dalam MBS dengan konsepsi kemasyarakatan yang sangat hierarkis yang berada di dasar negara patrimonial pada masa lampau. (Mahfud MD., 1993 : 112-113).
Berikut ini sebagai ringkasannya dapat dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Baru tersebut.
Masa
Ciri Khas Birokrasi
Orientasi Keberpihakan
Keterangan
Orde Baru
Tak jelas pemisahan antara jabatan politik dan jabatan administratif. Di satu sisi ada ketentuan yang mengatur eselonisasi jabatan-jabatan di bawah menteri, namun tradisi politik Orba memperlakukan semua jabatan seakan jabatan politik.
Pegawai negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas terhadap Golkar.
Golkar menempatkan birokrasi pada jalur B sebagai satu faksi di tubuhnya.
Aktornya adalah para menteri kabinet pembangunan, pegawai sipil yang terhimpun dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Dalam Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di DPR-RI, ada faksi atau jalur B yaitu birokrasi.
Terjadi gejala :
Bureacraty polity, terjadi dominasi birokrat dan militer dalam pembuatan kebijakan.
Birokratik patrimonial yaitu hubungan patron-klien dalam birokrasi dan masyarakat.
Korporatisme negara, terjadi kooptasi organisasi masyarakat.
Diadaptasi dari Forum Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
3.    Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Era Reformasi
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan kemudian memasuki orde reformasi, pada masa ini dicirikan dengan adanya liberalisasi politik. Liberalisasi politik ini merupakan fase dimana adanya sebuah proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang oleh negara. Selain itu  kebebasan pers juga telah diperbolehkan, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui fasilitas pers ini. Karena pada masa orde baru sistem politiknya otoriter dan didominasi oleh kelompok-kelompok militer dan hanya sedikit saja input sistem politik yang berasal dari luar militer.
Tentu saja input sistem politik sebagian besar dari keluarga Cendana dan kroni-kroni politik yang tidak bisa dikesampingkan pada masa Orde Baru, untuk itu pada masa reformasi ini diberlakukan liberalisasi politik dimana individu-individu dan kelompok-kelompok sosial selain kelompok militer mempunyai hak-hak untuk berpolitik. Sistem politik pada masa itu menggunakan sistem terbuka dimana setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam setiap pemilu diselenggarakan.  
Partisipasi politik dari berbagai kelompok masyarakat, sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu para elite politik berlomba-lomba mendirikan partai politik dan klimaksnya dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Dan pemilu dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid, dia memangku jabatan sebagai presiden selama 1 tahun 8 bulan 23 hari, lalu disusul oleh Megawati Soekarno Putri yang menggantikan posisi jabatan selama 2 tahun 20 hari. (Ricklefs, 2008)
Saat ini, lembaga legislatif Partai Demokrat menjadi pemenang dalam pemilu dengan suara terbanyak, sedangkan di eksekutif Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden sejak tahun 2004 sampai sekarang. Partai Demokrat jadi pemenang pemilu dan memiliki kursi signifikan di legislatif. Pada saat yang sama, melalui pemilihan langsung, Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono mendapat dukungan penuh dari rakyat hingga menjadi pemegang tampuk kekuasaan di eksekutif. Tujuan kuat partai politik ini adalah menjadikan pemerintahan yang baik atau good governance bagi keberhasilan pembangunan di berbagai aspek negara Indonesia. Kolaborasi legislatif-eksekutif ini seharusnya menjadi mesin politik yang kuat bagi Partai Demokrat untuk menjalankan pemerintahan.

C.    Kesimpulan

Dari sekian pandangan dan analisis yang dikemukakan diatas. Hemat saya, bahwa hubungan birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama adalah hubungan yang melibatkan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang menyebar dari faksi-faksi ideologi politik. Sehingga netralitas birokrasi tidak terjaga terhadap kepentingan politik elite-elite politik yang kebanyakan tergabung dalam partai politik. Singkatnya birokrasi merupakan alat politik bagi partai politik dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari dukungan. Sehingga netralitas sebagai pelayan masyarakat menjadi sulit dilakukan karena birokrasi terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang ada. Sekalipun pada masa awal pemerintahan ini keterlibatan birokrasi belum terlalu nampak, namun bukan berarti birokrasi tidak terlibat dengan partai-partai politik.
  Perbedaan keterlibatan birokrasi pada zaman Orde Lama dan Orde Baru dalam politik yang paling mencolok adalah dimana masa Orla keterlibatan politik birokrasi menyebar dari berbagai kepentingan politik. Hanya saja pada masa Orde Baru keterlibatan birokrasi tidak menyebar ke barbagai kekuatan politik, seperti partai-partai politik. Sepenuhnya merapat pada kekuatan Golkar yang pada masa ini belum menjadi partai politik, dan keberadaan birokrasi pada zaman itu benar-benar mempengaruhi rotasi kepemimpinan nasional dan perpolitikan.  . 
Sistem politik era reformasi seperti yang sudah dicantumkan di atas sudah mulai terbuka dan demokratis, peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menghapuskan kekuasaan keotoriteran. Aspirasi mulai bermunculan dari masyarakat, kemudian pertanggung jawaban kepada masyarakat disampaikan melalui media massa, yang memungkinkan masyarakat untuk bisa menyampaikan kritikan terhadap kinerja pemerintah.
Kinerja Birokrasi era reformasi berjalan secara lebih baik dan demokratis, meskipun proses administrasi masih terbelit – belit namun memakan waktu yang lebih cepat dari sebelumnya, selain itu dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik sudah lebih berkembang, namun pengecualian untuk efisiensi karena masih belum dikatakan baik, terbukti masih adanya kebocoran dan kelambanan dalam anggaran pemerintah.

D.    Daftar Bacaan
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993
Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik Indonesia. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2003
Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
P.M. Blau & M.W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000
Majalah Forum Keadilan, No. 24 Februari 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar