A.
Penagantar
Sudah lama birokrasi menjadi perhatian para ilmuwan sosial karena melihat
peranan yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Umumnya fungsi birokrasi diasumsikan sebagai pelayan masyarakat atau pelayan publik.
birokrasi merupakan gabungan dari dua kata yaitu bureau yang berarti office
table (meja kantor) yang bertujuan sebagai alat kerja manusia atau dapat
juga diartikan sebagai hukum yang menjadi dasar aturan-aturan dan cracy
yang bermakna power (kekuasaan) dalam bentuk authority
(kewenangan atau otoritas) dan legitimation (pengakuan).
Birokrasi mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat modern. Misalnya lembaga
tenaga kerja pemerintah atau non pemerintah yang dipakai untuk memperoleh
pekerjaan, serikat pekerja sebagai pelindung pekerja, pasar-pasar swalayan atau
toko-toko kecil untuk berbelanja, rumah sakit untuk berobat, sekolah untuk
mencari pengetahuan, partai politik yang menjadi medium kepentingan politik
rakyat dan lain-lain cenderung diatur secara birokratis. (Blau & Meyer,
2000 : 12-13).
Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang
diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan
negara. Tetapi konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan
keadaan saat ini, apalagi dikaitkan dengan konteks Indonesia. Secara filosofis
dalam paradigma Weber, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan
mengedepankan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk
mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini,
birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam
pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional
terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber
berparadigma netral dan bebas nilai.
1. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
banyak hal yang menarik perhatian melihat kondisi birokrasi di Indonesia pada
beberapa periode sejarah yang telah berlangsung, dimana keberadaan elite
birokrasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji hubungannya dengan politik.
Namun pada kesempatan ini terutama yang coba hendak diketahui lebih jauh adalah
tentang bagaimana hubungan antara birokrasi dan politik di Indonesia pada masa
Orde Lama dan Orde Baru
2.
Rumusan Masalah
Rumusan yang coba kita kaji dalam studi
perbandingan hubungan birokrasi dengan politik, sesuai dengan masalah yang
diuraikan diatas adalah Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia
pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi?
B. Pembahasan
1.
Hubungan Birokrasi Dengan
Politik Pada Zaman Orde Lama
Pada periode pertama
antara tahun 1945-1950, dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer dan
Presidensial. spirit perjuangan masih lebih mencolok kepada penyelenggaraan
pemerintahan. Bahkan tak jarang hal ini terlihat di dalam kekuatan moyoritas
menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai aspirasi minoritas demi
persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disadari, bahwa bagsa indonesia baru
mengalami kemerdekaan. Jadi semnagat integritas nasional menjadi perhatian
semua elemen pemerintah, dan ideologi-ideologi politik. Bulum terlalu mencolok
konfigurasi kepentingan dari berbagai ideologi politik yang berjung melepaskan
Indonesia dari cengkeraman kolonialisme.
Walaupun ada semangat
primordial tetapi tidak mengemuka karena tenggelam oleh semangat nasional.
Satu-satunya yang menjadi ancaman Negara adalah PKI (Partai Komunis Indonesia)
yang sempat memberontak dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Di awal
kemerdekaan ada semacam consensus bahwa lembaga pemerintahan merupakan
sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup logis
sebab hanya birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. (Thoha,
2003 : 135-136).
Pada saat ini aparat
pemerintah banyak direkrut dari berbagai etnis yang dianggap mewakili hampir
semua suku bangsa. Dan boleh dikatakan orang-orang yang duduk di pemerintahan
hanya mempertimbangkan asal-usul orangnya tanpa melihat kepada keahliannya.
Misalnya di dalam setiap departemen harus ada etnis Jawa, etnis Batak, etnis
Padang, etnis Sunda dan berbagai etnis lain yang kemudian dianggap dapat
mewakili gambaran integrasi semua suku bangsa.
Pada masa ini dilaksanakan
juga pemilihan umum pertama yang demokratis yaitu Pemilu tahun 1955. Ketika itu
partai yang memenangkan pemilu memiliki niat untuk menguasai beberapa
departemen. Bahkan tak jarang kabinet bubar karena pembagian kementerian di
departemen tak sesuai dengan keinginan partai politik yang bersangkutan. (Thoha,
2003 : 136).
Aparat pemerintah
sepertinya hanya patuh kepada kepentingan partai tempat dia menyalurkan
aspirasi politik ketimbang serius memberikan pelayanan kepada rakyat. Saat
partai yang berkuasa berganti maka aparat birokrasi pun banyak yang berganti
karena lebih memilih mengikuti keinginan dari partainya. Pada pokoknya,
keterlibatan Birokrasi dalam politik sudah melakukan peran ganda, pada satu
sisi Birokrasi atau elite birokrasi menjalankan tugasnya sudah di pengaruhi
oleh partai politik yang memerintah. Pada masa ini dalam sejarah politik
Indonesia dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer atau Liberal.
Pengaruh elite birokrasi
terhadap ranah politik secara langsung, pada periode ini tidak seperti yang
terjadi pada periode sebelumnya. Karena sistem pemerintahan mengalami
perubahan. Dimana perubahan tersebut dirasakan secara langsung oleh seluruh
struktur pemerintahan, termasuk institusi birokrasi dalam melakukan perannya.
Pada periode ini dikenal
dengan demokrasi terpimpin atau akhirnya demokrasi parlementer liberal.
Kekuasaan terpusat pada diri Presiden Soekarno. Partai-partai politik di
disederhanakan dalam bungkus Nasakom, dengan dibubarkan parlemen hasil pemilu
tahu 1955 sebagai konsekuensi dari dekrit presiden 5 juli. Peran presiden sangat
kuat dalam membentuk dan memimpin pemerintahan. Dimana presiden sebagai kepala
pemerintahan memimpin kabinet dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Menteri
sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab terhadap Presiden.
Sebagai ringkasannya disini
akan dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan politik pada
masa Orde Lama tersebut.
Masa
|
Ciri Khas
Birokrasi
|
Orientasi
Keberpihakan
|
Keterangan
|
|
Orde Lama
|
Belum atau tak terjadi
kekompakan birokrasi sebab politisasi birokrasi yang berwujud pengkavlingan
departemen-departemen oleh parta-partai politik. Misal, Depdagri dikavling
oleh PNI, Depag oleh Partai NU.
Politisasi terhadap
birokrasi begitu dalam sehingga promosi jabatan di berbagai departemen pada
semua lingkungan ditentukan terutama oleh loyalitas kepartaian anggota.
|
Aktornya adalah pegawai
negeri yang lebih berpihak kepada partai induknya.
Tampak gejala politisasi
birokrasi oleh partai politik yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi
oleh orang-orang yang ditunjuk partai politik. Birokrasi cenderung pro
partai, kader dan pendukungnya.
|
Profesonalisme dan
kinerja birokrasi orde lama tak berjalan baik sebab semua organnya sendiri
sudah menjadi partai politik.
Setiap departemen
dikuasai partai politik tertentu yang memiliki orientasi berbeda-beda.
|
|
Diadaptasi dari Forum
Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
2.
Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa
Orde Baru
Dalam hubungan Birokrasi dengan ranah politik
kekuasan pada masa Orde Baru Secara umum, wajah birokrasi masa Orde Baru dapat
diidentifikasi dalam dua tipe: yaitu sentralitas dan bersifat patrimonial.
Birokrasi di jadikan sebagai alat yang efektif untuk mengadapi pemerintahan
daerah. Namun demikian, wajah birokrasi yang sentralistik dan patrimonial, baik
pada organisasi Pamong Praja ataupun badan usaha milik Negara, bukalah monopoli
Orde Baru, melainkan warisan kelembagaan dari rejim sebelumnya. Kondisi ini
disebabkan diantaranya oleh proses rekrutmen kedalam jabatan pemerintahan dan
realitas birokrasi sebagai ajang konflik politik yang melahirkan patronase,
sehingga menciptakan iklim dimana manipulasi politik oleh pejabat pemerintah
menjadi lumrah dan perlu (Mohtar Mas’oed, 1989).
Seperti dicatat Mahfud dari Muhaimin, sistem
politik Orde Baru pada awalnya berusaha mengembalikan birokrasi yang semrawut,
tak bertanggung jawab ke arah birokrasi yang efisien, jujur, akuntabilitas dan
menghargai hukum. Namun menurut Soedjatmoko, keinginan untuk membentuk
pemerintahan modern, efisien dan kuat telah memunculkan pemerintahan yang
disebut Modernizing Bureaucratic State (MBS), yang memperlihatkan
semakin meluasnya peranan birokrasi di dalam negara. Ada kecenderungan otoritarianisme dan sentralisasi dalam MBS sebagai ciri
kebudayaan politik negara patrimonial, dan ada persamaan yang jelas antara
makna “modern officialdome” dalam MBS dengan konsepsi kemasyarakatan
yang sangat hierarkis yang berada di dasar negara patrimonial pada masa lampau.
(Mahfud MD., 1993 : 112-113).
Berikut ini sebagai
ringkasannya dapat dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan
politik di Indonesia pada masa Orde Baru tersebut.
Masa
|
Ciri Khas Birokrasi
|
Orientasi Keberpihakan
|
Keterangan
|
Orde Baru
|
Tak jelas
pemisahan antara jabatan politik dan jabatan administratif. Di satu sisi ada
ketentuan yang mengatur eselonisasi jabatan-jabatan di bawah menteri, namun
tradisi politik Orba memperlakukan semua jabatan seakan jabatan politik.
Pegawai
negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas terhadap Golkar.
Golkar
menempatkan birokrasi pada jalur B sebagai satu faksi di tubuhnya.
|
Aktornya
adalah para menteri kabinet pembangunan, pegawai sipil yang terhimpun dalam
Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Dalam Fraksi
Karya Pembangunan (FKP) di DPR-RI, ada faksi atau jalur B yaitu birokrasi.
|
Terjadi
gejala :
Bureacraty
polity, terjadi dominasi birokrat dan militer dalam pembuatan kebijakan.
Birokratik
patrimonial yaitu hubungan patron-klien dalam birokrasi dan masyarakat.
Korporatisme
negara, terjadi kooptasi organisasi masyarakat.
|
Diadaptasi dari Forum Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
3.
Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Era
Reformasi
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan kemudian memasuki orde
reformasi, pada masa ini dicirikan dengan adanya liberalisasi politik.
Liberalisasi politik ini merupakan fase dimana adanya sebuah proses
mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial
dari tindakan sewenang-wenang oleh negara. Selain itu kebebasan pers juga
telah diperbolehkan, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui
fasilitas pers ini. Karena pada masa orde baru sistem politiknya otoriter dan
didominasi oleh kelompok-kelompok militer dan hanya sedikit saja input sistem
politik yang berasal dari luar militer.
Tentu saja input sistem politik sebagian besar dari keluarga
Cendana dan kroni-kroni politik yang tidak bisa dikesampingkan pada masa Orde
Baru, untuk itu pada masa reformasi ini diberlakukan liberalisasi politik
dimana individu-individu dan kelompok-kelompok sosial selain kelompok militer
mempunyai hak-hak untuk berpolitik. Sistem politik pada masa itu menggunakan
sistem terbuka dimana setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam
setiap pemilu diselenggarakan.
Partisipasi politik dari berbagai kelompok masyarakat,
sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu para elite politik
berlomba-lomba mendirikan partai politik dan klimaksnya dari pendirian partai
politik adalah diselenggarakannya pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima
besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan
Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai
Amanat Nasional. Dan pemilu dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid, dia memangku
jabatan sebagai presiden selama 1 tahun 8 bulan 23 hari, lalu disusul oleh
Megawati Soekarno Putri yang menggantikan posisi jabatan selama 2 tahun 20
hari. (Ricklefs, 2008)
Saat ini, lembaga legislatif Partai Demokrat menjadi
pemenang dalam pemilu dengan suara terbanyak, sedangkan di eksekutif Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai presiden sejak tahun 2004 sampai sekarang. Partai
Demokrat jadi pemenang pemilu dan memiliki kursi signifikan di legislatif. Pada
saat yang sama, melalui pemilihan langsung, Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono
mendapat dukungan penuh dari rakyat hingga menjadi pemegang tampuk kekuasaan di
eksekutif. Tujuan kuat partai politik ini adalah menjadikan pemerintahan yang
baik atau good governance bagi keberhasilan pembangunan di berbagai
aspek negara Indonesia. Kolaborasi legislatif-eksekutif ini seharusnya menjadi
mesin politik yang kuat bagi Partai Demokrat untuk menjalankan pemerintahan.
C.
Kesimpulan
Dari sekian pandangan dan analisis yang
dikemukakan diatas. Hemat saya, bahwa hubungan birokrasi dengan politik pada
masa Orde Lama adalah hubungan yang melibatkan diri sebagai salah satu kekuatan
politik yang menyebar dari faksi-faksi ideologi politik. Sehingga netralitas
birokrasi tidak terjaga terhadap kepentingan politik elite-elite politik yang
kebanyakan tergabung dalam partai politik. Singkatnya birokrasi merupakan alat
politik bagi partai politik dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari
dukungan. Sehingga netralitas sebagai pelayan masyarakat menjadi sulit
dilakukan karena birokrasi terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang ada.
Sekalipun pada masa awal pemerintahan ini keterlibatan birokrasi belum terlalu
nampak, namun bukan berarti birokrasi tidak terlibat dengan partai-partai
politik.
Perbedaan keterlibatan birokrasi pada
zaman Orde Lama dan Orde Baru dalam politik yang paling mencolok adalah dimana
masa Orla keterlibatan politik birokrasi menyebar dari berbagai kepentingan
politik. Hanya saja pada masa Orde Baru keterlibatan birokrasi tidak menyebar
ke barbagai kekuatan politik, seperti partai-partai politik. Sepenuhnya merapat
pada kekuatan Golkar yang pada masa ini belum menjadi partai politik, dan
keberadaan birokrasi pada zaman itu benar-benar mempengaruhi rotasi
kepemimpinan nasional dan perpolitikan. .
Sistem politik era reformasi seperti yang sudah dicantumkan
di atas sudah mulai terbuka dan demokratis, peralihan kekuasaan dari Soeharto
ke Habibie menghapuskan kekuasaan keotoriteran. Aspirasi mulai bermunculan dari
masyarakat, kemudian pertanggung jawaban kepada masyarakat disampaikan melalui
media massa, yang memungkinkan masyarakat untuk bisa menyampaikan kritikan
terhadap kinerja pemerintah.
Kinerja Birokrasi era reformasi berjalan secara lebih baik
dan demokratis, meskipun proses administrasi masih terbelit – belit namun
memakan waktu yang lebih cepat dari sebelumnya, selain itu dari sisi
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik sudah lebih
berkembang, namun pengecualian untuk efisiensi karena masih belum dikatakan
baik, terbukti masih adanya kebocoran dan kelambanan dalam anggaran pemerintah.
D. Daftar Bacaan
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993
Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik
Indonesia. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2003
Mohtar Mas’oed, Politik,
Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
P.M.
Blau & M.W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Prestasi
Pustakaraya, Jakarta, 2000
Majalah Forum Keadilan, No. 24 Februari 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar